Kepada Ibu,
Peribahasa mengatakan bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Maafkan bahwa aku telah gagal, Ibu. Namun, aku tidak akan berlindung di balik peribahasa itu. Tidak akan kulindungi ataupun kusamarkan kegagalan dengan alasan apa pun. Gagal adalah gagal. Kuterima dan kuakui itu dengan sepenuh hati.
Tapi Ibu, apakah kegagalan membuatku harus berhenti lalu melupakan jejak langkah yang telah kutempuh sebelum ini? Apakah kemudian aku harus kehilangan jejak untuk menuju arah selanjutnya?
Tidak Ibu, jangan biarkan hapus jejak itu terjadi padaku. Jangan biarkan anak perempuanmu ini kehilangan arah lanjutnya. Bukankah dengan kegagalan, justru kurasakan rasanya jatuh untuk kemudian kutahu bagaimana cara bangun kembali?
Hidup Ibu menderita. Bila aku berhenti sekolah, aku akan menjadi seperti Ibu dengan segala penderitaan itu. Apakah itu yang harus terjadi kepadaku? Sekolah adalah persemaian masa depan, peluang untuk meraih sesuatu, berhenti sekolah berarti kehilangan peluang itu. Ibu, kumohon berikan kepadaku kesempatan untuk meraih peluang itu. Lakukan sesuatu sehingga terelak dariku garis nasib seperti itu.
Ibu,
Apa yang telah kita tempuh sejauh ini bukanlah perjalanan yang mudah. Selamanya tak akan terlupakan segala yang sudah kita lalui bersama. Sebuah perjalanan yang memerlukan lebih dari sekedar perjuangan dan kerja keras, melainkan juga keyakinan dan keteguhan hati. Maka niscaya tak akan terlupakan, betapapun keadaan akan memaksa menghapus jejak langkah itu dari ingatanku. Tidak akan. Jejak langkah akan senantiasa terayun dalam ingatanku dan akan terus mencari jalannya.
Ibu,
Kumohon jangan hentikan langkahku. Aku akan tetap bersekolah, aku harus bersekolah! Lakukan sesuatu Ibu, sehingga aku bisa tetap meneruskan sekolahku. Lakukan apa saja, Ibu, meski itu harus mengosongkan mangkuk nasiku.
(Ma Yan, hlm 135 - 136)
*******
Lahir di sebuah desa terpencil di Zhangjiashu, Ma Yan adalah seorang gadis perempuan yang unik. Di desa yang sebagian perempuannya menikah muda, serta kesempatan besar untuk bersekolah hanyalah hak istimewa anak laki-laki, tidak membuat surut semangat Ma Yan untuk sekolah. Namun, betapa hancur hati Ma Yan ketika suatu sore ibunya berbicara dengan isak tangis bahwa sekuat apa pun sang ibu membiayai Ma Yan, tampaknya gurat nasib Ma Yan akan seperti yang digariskan untuk perempuan-perempuan miskin di desanya: tidak berpendidikan dan menikah muda.
Dengan hati pedih Ma Yan protes kepada ibunya.
“Ibu, mengapa harus aku yang berhenti sekolah, Ibu?”
“Mengapa kedua adik laki-lakiku bisa meneruskan sekolah sedangkan aku tidak?!”
Pedih hati Ma Yan. Lebih pedih lagi dia merasa mimpinya untuk meraih pendidikan akan segera menguap—dan satu-satunya hal yang menghalangi harapan dan kenyataan adalah keterbatasan biaya. Di daerah Zhangjiashu yang miskin dan terbelakang sebagian besar keluarga hanya memiliki pendapatan US$ 15 setahun. Dengan penghasilan seminimal ini, pendidikan adalah mimpi bagi sebagian besar penduduk.
Namun Ma Yan bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia rela berjalan 5 jam di tengah hantaman musim dingin menempuh jalan panjang ke sekolah. Kakinya bengkak, badannya letih, namun hatinya tetap hangat dengan harapan. Sekolah adalah api yang menyalakan mimpi-mimpinya. Pernah suatu ketika, Ma Yan harus menghapus jadwal makan siangnya selama 15 hari hanya untuk membeli sebuah pena. Betapa besar pengorbanan Ma Yan, tapi betapa kuat tekadnya untuk tidak dimangsa nasib yang setiap saat bisa menghempaskan fondasi ekonomi keluarganya yang rapuh.
Namun, setiap kali Ma Yan terjerembap dalam kesulitan, buku harianlah obat penawarnya. Dengan penuh perasaan, Ma Yan menulis.
“Pada waktu kami bersiap pulang usai makan siang, cuaca terasa sangat dingin. Ditambah lagi hujan turun. Anak-anak perempuan asrama pulang dengan menumpang traktor. Hanya aku dan adikku, serta satu orang teman akan berjalan kaki.”
“Pagi ini setelah pelajaran usai, aku pergi ke pasar di Yuwang bersama dua teman. Di sana kami melihat banyak orang yang jauh berbeda dengan kami. Satu orang hanya memiliki sebelah kaki, yang lain kehilangan salah satu telapak kakinya. Bahkan, ada yang buta.
“Aku sempat mengira takkan mampu bertahan di sekolah. Dan, hari ini aku berjumpa seorang laki-laki yang buta. Orang buta saja bisa tetap hidup, jadi kenapa aku tidak melakukan hal yang sama?
“Kemampuanku harus bertambah lebih baik dan lebih baik lagi, juga berada di depan semua siswa sekolah.”
“Ibu yang mendorong aku sehingga bisa kembali ke sekolah. Aku harus terus bersekolah agar bisa masuk ke universitas dan mendapatkan pekerjaan yang hebat. Kemudian, Ibu akan memiliki kehidupan yang bahagia. Aku ingin ibuku hidup bahagia di masa kedua kehidupannya.”
pernahkah liat si bee ini betah baca buku tebel ???
kayaknya hampir ga pernah..^^
hari itu sabtu (22 maret),,ga tau kenapa kepingin banget ke gramedia, ujan guede bener, tapi ga bikin surut niat.
sampe di Metmol,,langsung ke gramed, cari2 buku yg mau dibaca,,
eh dapet di blok BUKU BARU, judulnya
MA YAN.
awalnya agak ragu ntu buku bs bikin betah.
eh ga taunya,,,bisa bikin si bienk ini baca sampe abis, dan baru kali ini baca dalam 6 jam sebanyak kira2 210 halaman. wow...
sesuatu yang dulu ga mungkin terjadi dalam kehidupan si tawon ini.
kisah nyata dari pedalaman china, yang diangkat sama pierre haski (klo ga salah). seorang anak berumur 13 tahun, yang punya tekad ngerubah hidupnya dengan pendidikan. ibunya yang hanya bersekolah 1 tahun dan ayahnya yang punya keluarga pengemis.
salah satu ceritanya
ma yan harus rela memakan nasi putih tanpa lauk selama dua minggu untuk mengumpulkan 2 yuan demi sebuah pulpen,
Ibunya yang rela tidak makan asalkan anak2nya makan, padahal dia juga lagi sakit,
ayahnya yang harus kerja bangunan ke kota pulang seminggu sekali, dengan kadang tanpa upah.
huhu...
waktu baca cerita tentang ibunya,,,
tes..tes... ya ampun aer mata langsung turun, wah klo ga inget ntu lagi ga di gramed, bisa kejer tuh.
mengharukan, penyemangat, dan bikin si tawon ini sadar perjuangan ibu segitu hebatnya.
baca buku itu jadi inget sama Emak di rumah,,,huhu..
nah sutat yang diatas itu adalah suratnya ma yan buat ibunya...
keren kan kata2nya...
buruan baca,, ga sah beli kok baca ja di Gramedia terdekat...hihi
doain bulan depan si tawon ini beli buku ini. amin.
ni bukti klo kita bedua (bee n Rusmi) ga gede pipinya.
